CERPEN MOTIVASI
Oleh : Alin Rico F.
Oleh : Alin Rico F.
“SANG
PATRIOT UJUNG TIMUR”
Di suatu daerah
perkampungan pesisir ujung timur yang mayoritas penduduknya sebagai nelayan dan
petani, setiap pagi menjelang matahari terbit penduduk sekitar sudah bangun dan
bergegas berangkat ke sawah sebagian juga berangkat melaut untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Di perkampungan yang
sejuk nan subur ini hiduplah sepasang suami istri yang bekerja sebagai buruh
tani di kampung pesisir, yang bernama Subur dan Sulastri mereka mempunyai dua
orang anak yaitu bernama Satrio Pinulung dan Ageng Pribadi.
Satrio pinulung
merupakan anak pertama dari pasangan Subur dan Sulastri, dia adalah seorang
anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Kesehariaanya disamping
dia sekolah dia juga tidak lupa membantu orang tuanya menggarap sawah yang
letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Kakak dari ageng
pribadi ini dikenal sebagai sosok anak yang sopan dan ramah kepada orang lain,
walaupun usianya masih 12 tahun dia mempunyai cita-cita yang sangat tinggi
yaitu ingin menjadi seorang pemimpin bangsa indonesia supaya bisa membantu para
petani dan nelayan yang kurang sejahtera hidupnya seperti yang terjadi di
kampung pesisir tempat dia tinggal.
Setiap malam Satrio dan
keluarganya berkumpul dan melepas semua rasa lelah setelah seharian penuh
beraktifitas dengan ditemani teh hangat dan pisang goreng buatan ibunya. Disaat
mereka berkumpul tak lupa Pak Subur menyampaikan harapan dan motivasi kepada
kedua putranya yaitu Satrio dan Ageng utuk tetap semangat sekolah supaya pintar
dan bisa menjadi orang sukses, supaya tidak seperti bapak yang cuma bisa nyari
makan jadi seorang buruh tani. Pak.subur pun sering berkata kepada satrio “
jangan lupa nanti kalau sudah sukses dan bisa cari kerja sendiri bapak titip
adikmu” satrio pun dengan siapnya menjawab “iya nanti saya siap membantu adik
sampai dia bisa sekolah sampai tinggi dan menjadi orang yang sukses”.
Dengan semakin
bertambahnya usia satrio dan adiknya, biaya sekolah yang harus dipenuhi oleh
pak. Subur semakin besar sehingga dia harus bekerja siang malam untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan biaya sekolah kedua putranya. Merasa kasihan melihat
bapaknya bekerja siang malam akhirnya satrio memutuskan untuk mencari kerja
sebagai buruh bersih-bersih di rumah pak.sofyan yang mana dia adalah pemilik
sawah yang digarap oleh bapaknya si satrio.
Seiring bertambahnya
tahun, pemuda yang sopan ini semakin dewasa pemikirannya dan semakin ingin
mencari ilmu untuk mencapai cita-citanya dengan bersilaturahmi ke rumah
orang-orang yang berpengaruh di kampungnya salah satunya adalah pak. Sutejo
abdul muklis yang merupakan kepala desa di kampung pesisir, dengan penuh
semangat dan tanpa adanya rasa malu atau takut dia mendatangi kediaman
pak.sutejo untuk menanyampaikan keinginannya melanjutkan pendidikannya yang
terganggu dengan kondisi keuangan orang tuanya.
Mendengar semangat dan
keinginan yang disampaikan oleh satrio pak.sutejo tergugah hatinya untuk
membantu dan memberikan masukan dan saran kepada pemuda yang semangat itu
dengan menyekolahkan dia disalah satu sekolah menengah atas yang ada di kota
bersama dengan putra pak.sutejo yang bernama Indra. Mendengar tanggapan
tersebut satrio sangat senang dan gembira karena bantuan dari pak.sutejo dia
bisa melanjutkan sekolah hingga tiga tahun lamanya dan sampai dia lulus di bangku
SMA, berkat usaha dan semangat yang keras dia bisa lulus dengan predikat nilai
terbaik di sekolahnya. Melihat satrio
lulus dengan predikat nilai terbaik membuat kedua orang tuanya dan adik
tersayangnya merasa bangga atas prestasinya.
Berkat usaha dan
keinginannya yang sangat besar membuat salah satu guru di SMA kagum dan merasa
bangga mempunyai murid seperti satrio, dan melihat potensi yang ada pada
dirinya guru sma tersebut menganggap satrio seperti anak kandungnya sendiri.
Tak heran jika selama masih sekolah dia sering cerita dan tukar fikiran dengan
gurunya itu yang bernama bu. Tutus paraningsih tentang perkembangan kondisi
pemerintahan saat ini. Mendengar informasi dan tanggapan dari gurunya itu kalau
perkembangan indonesia semakin tahun semakin kurang baik yaitu dengan banyaknya
korupsi di Negara ini yang menyababkan masyarakat indonesia semakin miskin
apalagi para pemudanya yang masih tidak peduli dengan kondisi ini, mendengar
hal tersebut membuat satrio semakin bersemangat untuk menggapai cita-citanya.
Diusianya yang masih
muda usia 17 tahun satrio ingin melanjutkan ke perguruan tinggi untuk menambah
pengetahuaannya, tapi dalam waktu yang bersamaan satrio mendapat kabar dari
Indra bahwa bapaknya sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Mendengara kabar
tersebut pemuda yang sopan itu akhirnya memutuskan kembali ke kampung untuk
menjenguk bapaknya yang dia sayangi.
Setibanya di kampung
halaman anak pertama dari pasangan pak subur dan bu sulastri itu langsung
berangkat menuju ke rumah sakit masyarakat terpadu, sesampainya disana dia
langsung mencium tangan ibunya dan bapaknya yang sedang terbaring di tempat
tidur. Melihat putranya yang ia sayangi pak subur meneteskan air mata haru
melihat putranya datang dan mencium tangannya, walaupun matanya meneteskan air
mata tapi dia berusaha tersenyum kepada kedua anaknya yang berada di
sampingnya. Pak subur pun mengatakan kepada kedua orang putranya “bapak bangga
melihat kalian berdua rukun dan saling menyemangati satu sama lain, bapak
berpesan pada kalian jika bapak nanti sudah tiada bapak titip jaga ibu kalian
baik-baik ya dan jika kalian nanti sudah menjadi seorang mahasiswa dan menjadi
orang yang sukses jangan pernah lupa pada orang yang sudah membantu kalian dan
tetap membaurlah dengan sesame jangan jadikan pendidikan atau jabatan kalian
sebagai batasan dan alasan untuk tidak membaur dengan masyarakat, jadilah
pemuda yang bisa diandalkan dan bermanfaat bagi orang lain yang sesui dengan
nama kalian”.
Mendengar pesan yang
disampaikan oleh bapaknya, ibunya satrio menangis sambil dipeluk oleh ageng
adiknya satrio, dan satrio menjawab dengan penuh kesedihan dan meneteskan air
mata “ iya pak saya dan adik akan selalu melakukan yang terbaik untuk
membahagiakan bapak dan ibu serta kami tidak akan pernah lupa dengan siapapun
yang sudah membantu selama ini dan tetap bersikap sopan, ramah dan saling
menolong sesama”.
Diusianya ke-82 tahun
pak subur meninggal akibat penyakit jantung yang dideritanya. Dengan
meninggalnya bapak tersayangnya menjadi pukulan yang berat bagi satrio yang
selama ini menjadi sosok bapak yang selalu memotivasi dan menjadi tulang
punggung keluarga dalam membiayai kebutuhan hidup dan biaya sekolah adiknya
serta biaya sekolah satrio.
Melihat kondisi
keluarganya yang semakin terpuruk dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
biaya sekolah adiknya, membuat satrio memutuskan untuk tidak melanjutkan
pendidikannya ke perguruan tinggi idamannya. Kesehariannya putra pertama dari
pasangan subur dan sulastri menjadi buruh tani bersama para tetangga disekitar
tempat tinggalnya.
Walaupun satrio tidak
belajar lagi tapi dia tetap mengamalkan ilmu yang selama ini dia dapat ketika
masih duduk di bangku SMA, dia sering mengajari para buruh tani yang kurang
bisa membaca dan menghitung ketika mereka istirahat seuasi menggarap sawah.
Banyak para buruh tani yang usianya jauh lebih tua dari dia yang merasa
beruntung bisa belajar membaca dan menghitung, serta tak sedikit dari mereka
yang kasihan melihat satrio yang masih muda sudah harus berpisah dengan
bapaknya, dan mereka sering menaruh harapan kepada pemuda yang sopan dan
bersemangat ini untuk melanjutkan sekolahnya supaya bisa membantu para buruh
tani dan nelayan yang kurang seajahtera hidupnya seperti yang terjadi di
kampung pesisir.
Suatu ketika mendengar
kabar dari teman semasa sekolah bahwa kondisi satrio tidak sekolah lagi, guru
yang dulu dekat dengan satrio merasa kasihan dan mendatangi keluarga pemuda
yang sopan itu untuk minta ijin kepada ibunya supaya satrio bisa melanjutkan
pendidikannya. Akhirnyapun keluarga
satrio mengijinkan supaya putranya bisa melanjutkan pendidikannya lagi.
Mendengar pernyataaan
dari guru kalo dia mau membantu menyekolahkan hingga perguruan tinggi satrio
merasa keberatan karena dia merasa kasihan kepada ibunya dan adik semata wayangnya
karena dia merasa bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
harus memenuhi biaya sekolah untuk adiknya, tapi guru yang dianggap sebagai
orang tua angkatnya terus membujuk satrio suupaya dia mau untuk melanjutkan
pendidikannya, dan mendengar pernyataan guru tersebut satriopun akhirnya mau
untuk melajutkan pendidikannya di perguruan tinggi yang terkemuka yang letaknya
di tengah kota yang dulunya sempat menjadi tempat impiannya yaitu universitas
negeri bintang bangsa.
Semasa di kampus satrio
dikenal sebagai salah seorang mahasiswa yang aktif dan peduli akan perubahan
kemajuan kampus, dia juga dikenal sebagai aktivif kampus yang luar biasa hampir
semua masyarakat kampus tempat dia mengenyam ilmu kenal dengan sesosok pemuda
yang kalem dan sopan.
Sederetan penghargaan
iya raih atas karyanya salah satunya yaitu pelopor pergerakan pemuda peduli
masyarakat. Semakin usianya yang bertambah dewasa dan dia dapat menyelesaikan
pendidikannya dengan cepat dibandingkan dengan teman-teman angkatannya karena
prestansinya dalam menempuhnya.
Dengan menyandang gelar
sarjana pemuda yang sopan itu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya
untuk merubah keadaan dan ingin mengamalkan ilmu yang sudah dia dapat semasa
dia berada di lingkungan kampus.
Keputusannya itu dia
lakukan karena dia merasa semakin dia mempunyai ilmu pengetahuan semakin pula
dia ingin menyampaikan dan mengamalkan kepada masyarakat di kampungnya supaya
masyarakat di tempat kelahirannya bisa merasakan ilmu pengetahuan yang selama
ini dia dapatkan.
Putra pertama dari
pasangan pak subur dan bu sulastri mempunyai prinsip bahwa semakin dia
mempunyai ilmu dan pengalaman maka semakin dia harus mengabdikannya kepada
sesamanya tanpa ada rasa batasan ataupun alasan untuk menutup diri bagi masyarakat
dan sesamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar